Kamis, 13 Mei 2010

Ilmu Kepolisian adalah pendekatan antar bidang

oleh
Parsudi Suparlan
Pendahuluan
Tulisan ini adalah penjelasan mengenai ilmu kepolisian yang paradigmanya antar-bidang dan kualitatif; dan bagaimana ilmu kepolisian itu sebaiknya dikembangkan di perguruan tinggi bagi pembelajaran calon-calon petugas kepolisian dan bagi mereka yang menaruh perhatian terhadap upaya menciptakan rasa aman dalam masyarakat, keteraturan sosial, dan penegakan hukum, serta berbagai metode dan teknik dalam penyelidikan dan penyidikan kejahatan dalam masyarakat yang demokratis. Ilmu kepolisian sama dengan ilmu-ilmu lainnya, telah muncul, berkembang, dan mantap dalam suatu masyarakat karena keberadaannya dan lulusan yang dihasilkannya dibutuhkan untuk berfungsi dalam masyarakat tersebut. Fungsi kepolisian yang mencakup menciptakan rasa aman masyarakat dan warganya, penegakkan hukum dan pengayoman. Karena itu, ilmu kepolisian dalam masyarakat-masyarakat yang demokratis di satu pihak bercorak universal (karena fungsi-fungsinya), tetapi di lain pihak menjadi bercorak lokal karena harus disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan negara di mana kepolisian itu berfungsi (Bachtiar, 1994, Bailey,1995, Suparlan, 1999).

Paradigma atau seperangkat cara memandang dan memperlakukan, dan dalam menginterpretasi gejala-gejala, serta dalam bertindak yang merupakan perwujudan nilai-nilai serta keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran, yang digunakan oleh para ahli dan pakar kepolisian adalah antar-bidang karena kegiatan pemolisian adalah kegiatan profesional yang harus dapat memecahkan suatu masalah yang ada dalam kehidupan sosial dari berbagai perspektif dan bidang ilmu pengetahuan. Melalui pendekatan antar-bidang inilah profesionalisme polisi dapat ditegakkan. Untuk mampu mengorek informasi dari tersangka kejahatan politik yang bukan penjahat jalanan misalnya, bukan hanya menggunakan teori-teori dari ilmu komunikasi, atau teori-teori dari psikologi tetapi secara bersamaan juga dengan menggunakan teori-teori mengenai hubungan-hubungan sentimental dan emosional dalam kekerabatan dan keluarga yang ada dalam antropologi dan sosiologi.
Tulisan ini akan membahas seperti apa sebetulnya paradigma antar-bidang yang ada dalam ilmu kepolisian, dan bagaimana seharusnya ilmu kepolisian tersebut diajarkan di perguruan tinggi. Baik sebagai sebuah satuan administrasi pembelajaran maupun sebagai sebuah satuan pembelajaran atau kurikulum.
Paradigma Antar-Bidang Ilmu Kepolisian *)
Ilmu Kepolisian, sama dengan berbagai bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tidak tergolong dalam normal science (ilmu pengetahuan biasa) yang paradigmanya tunggal, metodologi dan metode-metodenya baku, dan hukum-hukum dan teori-teorinya berkembang secara bertahap dan linear (Kuhn, 1970). Contoh dari ilmu pengetahuan biasa ini adalah ilmu-ilmu alamiah dan teknologi yang antara lain mencakup biologi, ilmu kimia, astronomi, teknik sipil, dsb.
Mengikuti Bailey (1995), ilmu kepolisian, pada dasarnya adalah ilmu administrasi kepolisian, yaitu ilmu mengenai bagaimana membangun dan memantapkan organisasi dan pranata-pranata kepolisian, kebudayaan dan etika kepolisian, manajemen personil birokrasi dan keuangan, sesuai kebutuhan masyarakat untuk dapat menciptakan rasa aman dan ketaraturan sosial, mengayomi dan melindungi masyarakat dan warga serta harta benda mereka, mencegah dan memerangi kejahatan, dan menindak secara adil berbagai pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok sesuai hukum yang berlaku. Kalau kita perhatikan cakupan permasalahan yang harus dipecahkan dan dilaksanakan oleh polisi sesuai ilmu kepolisian, seperti tersebut di atas, maka ilmu kepolisian harus didukung oleh banyak ilmu pengetahuan. Seorang petugas polisi harus mempunyai pengetahuan mengenai berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Menyadari kenyataan seperti tersebut diatas, Prof. Harsja Bachtiar (1994), menyatakan bahwa ilmu kepolisian, yang seharusnya diberikan pada perguruan tinggi ilmu kepolisian, adalah hasil penggabungan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan, terutama ilmu hukum, khususnya hukum pidana dan acara perdata, kriminologi, kriminalistik dan ilmu kedokteran khususnya patologi forensik. Apa yang dinyatakan oleh Prof. Harsja Bachtiar sebagai penggabungan berbagai cabang (bidang) ilmu akan menghasilkan sebuah program pendidikan yang dinamakan multi-bidang atau multi disciplinary program. Dalam program yang multi-bidang itu masing-masing bidang ilmu pengetahuan berdiri sendiri, sehingga dalam program pendidikan tersebut mencakup pengajaran mengenai dan pengembangan pengajaran sosiologi, antropologi, ilmu administrasi, ilmu hukum, ilmu patologi forensik dsb. Mahasiswa ilmu kepolisian yang tamat dari program seperti ini akan menjadi ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan dan bukannya menjadi petugas kepolisian.
Melihat program pendidikan kepolisian sebagai program multi-bidang, seperti tersebut diatas sebenarnya tidak tepat. Sesuai dengan tujuan diadakannya program pendidikan kepolisian, yaitu menghasilkan petugas kepolisian yang profesional sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, maka program pendidikan kepolisian di perguruan tinggi seharusnya dilakukan menurut paradigma antar-bidang. Dalam paradigma antar-bidang ini mata-mata ajaran yang seharusnya diajarkan kepada para mahasiwa bukanlah ilmunya (yang mencakup paradigma, metodologi dan metode metodenya, teori-teori dan konsep-konsep yang ada dalam khasanah masing-masing ilmu pengetahuan tersebut), tetapi sejumlah mata ajaran dari berbagai bidang ilmu yang relevan dengan ruang lingkup ilmu kepolisian dan sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan petugas-petugas kepolisian yang dapat berfungsi secara profesional sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Mata ajaran yang diajarkan bukanlah mengenai bidang ilmu dan keilmuannya, tetapi mengenai satu atau sejumlah sasaran kajian dari bidang unit yang bersangkutan. Misalnya, mata ajaran Hubungan Antar-sukubangsa, yang menjadi salah satu sasaran kajian atau pengajaran Antropologi dan bukannya mata ajaran Antropologi yang diajarkan. Atau, Komuniti dan Primodialisme yang merupakan salah satu sasaran kajian atau pengajaran Sosiologi dan bukannya mata ajaran Sosiologi yang diajarkan.
Sejumlah mata ajaran secara bersama-sama atau harus tercakup dalam suatu paradigma antar-bidang, yang mencerminkan ilmu kepolisian sebagaimana yang ruang lingkupnya telah dikemukakan terdahulu dalam tulisan ini. Paradigma yang sejalan dengan dan mendukung antar-bidang adalah metodologi kualitatif. Metodologi kualitatif harus juga digunakan sebagai landasan pengembangan ilmu kepolisian, karena penekanan dari metodologi kualitatif adalah pemahaman (verstehen) yang merupakan hasil interpretasi, induktif atau naturalistik, dan yang holistik atau sistemik. Ini berbeda dan bahkan bertentangan dengan metodologi kuantitatif yang menekankan pada pengukuran, parsial, dan deduktif. Tidak berarti bahwa dalam paradigma yang kualitatif ini tidak digunakan metodologi kuantitatif dan analisa statistik. Dalam hal ini hasil kajian kuantitatif atau uji statistik atau data kuantitatif masih harus diinterpretasi untuk dipahami sebagai bagian dari kajian kualitatif yang lebih luas mengenai sesuatu masalah yang menjadi perhatian atau kajian. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Denzin dan Linclon (2000 : 7) :
….. is an interdisciplinary, transdisciplinary, and sometime counterdisciplinary field it concerns the humanistic and social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are committed to the naturalist perspective and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions.

Pengajaran Ilmu Kepolisian di Perguruan Tinggi
Ilmu Pengetahuan, termasuk Ilmu Kepolisian, muncul dan berkembang serta menjadi mantap karena kegiatan-kegiatan dari para ahli atau pakarnya. Kegiatan kegiatan tersebut mencakup: pengajaran dan pendidikan, penelitian seminar dan lokakarya, dan penerbitan hasil penelitian atau kajian. Pengajaran dan pendidikan ditampung dalam wadah universitas, perguruan tinggi atau institut. Dalam universitas atau perguruan tinggi ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu dikembangkan dalam departemen. Sedangkan dalam institut, ilmu kepolisian secara otonom dapat dikembangkan secara mandiri. Contohnya adalah Suthern Police Institute yang didirikan di Lousville Kentucky, pada tahun 1951 (Bailey, 1995: 721-722). Sedangkan kegiatan-kegiatan lainnya terwujud melalui organisasi ilmiah atau komuniti ilmiah (scientific community) dan penerbitan jurnal dan buku hasil-hasil penelitian.
Bila persyaratan tersebut di atas telah diupayakan, maka persyaratan selanjutnya adalah menciptakan kurikulum. Kurikulum yang terdiri atas silabi mata-mata ajaran dibuat dengan tujuan sebagai pedoman pengajaran bagi para mahasiswa untuk menghasilkan lulusan atau petugas kepolisian yang pengetahuan dan ketrampilannya sesuai dengan yang dicita-citakan. Kurikulum untuk pendidikan polisi pada perguruan tinggi di Indonesia sebaiknya mengikuti ilmu kepolisian yang dikemukakan oleh Bailey seperti tersebut di atas dan pemberian, mata-mata ajaran yang mencirikan konteks-konteks permasalahan masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang dilakukan oleh SPI atau Southern Police Institute seperti tersebut di atas yang didirikan 1951 di Lousvilie, Kentucky untuk menghasilkan perwira-perwira polisi yang mampu untuk menciptakan keharmonisan hubungan antar-ras, maka kurikulum pengajarannya juga disesuaikan dengan tujuan pendidikan tersebut. Dalam kurikulum tersebut yang terbanyak adalah mata-mata ajaran mengenai ras, hubungan antar-ras, teknik-teknik berhubungan dengan berbagai kelompok ras yang ada di negara bagian tersebut, dan etika. Pada tahun 1961 kurikulum program ini disempurnakan sebagai program pendidikan polisi yang bukan hanya untuk menghasilkan petugas kepolisian untuk penanganan masalah rasial, walaupun mata-mata ajaran yang disajikan masih lebih menekankan pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Pada tahun 1972 program ini menyelenggarakan pendidikan pascasarjana. Menurut Bailey SPI telah berkembang sampai dengan sekarang dan didukung oleh masyarakat dan pemerintah serta komuniti akademik, karena komitmennya pada upaya untuk menciptakan saling memahami yang lebih baik antara polisi dengan umum atau masyarakat (1994 : 721-722).
Secara lebih khusus, kurikulum bagi program pendidikan ilmu kepolisian di perguruan tinggi yang akan didirikan mungkin lebih tepat mengacu pada visi dan misi Polri, sebagaimana dikemukakan oleh Kapolri, dan mengacu pada implementasi visi dan misi tersebut. Secara lebih khusus, visi dan misi Polri dan implementasinya harus dijabarkan kedalam mata-mata ajaran yang secara keseluruhan merupakan kurikulum. Sehingga kurikulum yang mencakup mata-mata ajaran tersebut akan merupakan acuan bagi terciptanya petugas-petugas polisi profesional sebagaimana yang dicita-citakan melalui visi dan misi Polri.
Bila kurikulum yang dimaksud telah diciptakan maka yang harus dipikirkan selanjutnya adalah pengadaan staf pengajar. Untuk sementara ini, seperti yang dilakukan oleh SPI pada tahap-tahap permulaan didirikannya, pengajar dapat direkrut dari luar. Mereka diangkat sebagai dosen atau guru besar luar biasa untuk sesuatu mata ajaran. Mereka itu haruslah sarjana atau dosen yang mempunyai kompetensi untuk masing-masing bidang pengajaran yang diasuh. Pada tahap-tahap berikutnya dosen atau guru besar luar biasa ini akan harus diganti oleh dosen-dosen tetap yang juga harus mempunyai kompetensi yang kira-kira sama dengan dosen atau guru besar yang digantikannya. Alumni dari Program Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana-U.I. dapat direkrut untuk kepentingan pemantapan Institut atau Departemen Ilmu Kepolisian yang akan didirikan.
Bila masalah pengadaan pengajar yang berkualitas sudah terpecahkan maka tahap berikut yang harus dipikirkan adalah mahasiswa, yaitu kualifikasi mahasiswa dan jumlah mahasiswa yang dapat diterima dalam setiap semester atau tahun ajaran. Sejumlah ketentuan atau patokan harus dibuat untuk dijadikan acuan dalam memproses penerimaan mereka. Ada baiknya bila dalam tahap permulaan dari program ini para mahasiswa yang diterima adalah mereka yang telah tamat Akpol dan telah bertugas di lapangan untuk suatu waktu tertentu yang ditentukan oleh panitia pendiri. Jumlah mahasiswa yang diterima harus disesuaikan dengan jumlah pengajar dan ketersediaan ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, dan berbagai fasilitas lainnya yang diperlukan.
Sebuah progam pendidikan apalagi program pendidikan tinggi, seperti yang direncanakan untuk didirikan di Semarang, menuntut pembiayaan atau modal yang tidak kecil dan modal yang tidak kecil tersebut tidak kembali dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk kemampuan pengetahuan yang profesional yang akan dipunyai oleh para lulusannya sebagai petugas kepolisian. Modal yang ada sebaiknya bukan hanya untuk biaya pembangunan gedung dan sarana fisik, tetapi juga untuk perpustakaan dan ruang baca serta untuk membeli buku, dan berlangganan majalah dan jurnal. Tanpa perpustakaan maka sebuah pendidikan tinggi sebetulnya bukan pendidikan tinggi tetapi sebuah kursus.
Tahap berikutnya atau mungkin harus dipikirkan pada tahap permulaan dari rencana pendirian program pendidikan ini adalah pimpinan dan staf administrasi. Bila program ini akan merupakan sebuah departemen, maka independensi dari program ini terbatas karena harus tunduk pada Dekan dan Fakultas yang bersangkutan. Bila program ini didesain sebagai sebuah fakultas dengan jabatan pimpinannya sebagai Dekan dan Wakil Dekan adalah tidak mungkin, karena sebuah fakultas harus terdiri atas departeman-departeman yang berbeda yang saling terkait paradigmanya satu dengan lainnya. Bila ingin mempunyai tingkat independensi dalam batas-batas tertentu maka program ini dapat didirikan dalam wadah institut, seperti Institut Ilmu Pemerintahan.

Daftar Pustaka

  • Bachtiar, Harsja W.1994. Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu pengetahuan yang baru, Jakarta :PTIK-Gramedia.
  • Bailey, William. (cd). 1995. The Encyclopedia of Police Science. Second Edition. New York: Garland.Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.).2000. Handbook of Qualitative Research. Second Edition. London : Sage.
  • Kuhn, Thomas,1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago : Chicago University Press.
  • Suparlan, Parsudi,2000.“Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat”.
  • Jurnal Polisi Indonesia, 1,56-73. 2001.“Kajian Antar Bidang llmu Pengetahuan. Jurnal Studi Amerika, 7, 1, 5-15.

Tidak ada komentar: