oleh
Bejo Andrianto, M.Si
Pendahuluan
Bejo Andrianto, M.Si
Pendahuluan
Tulisan
ini merupakan pendalaman dari tulisan Prof.Erlyn SH, MH, PhD yang berjudul “Polisi,
Penegakan Hukum dan Pengawasan Eksternal: Sebuah upaya revitalisasi” dalam majalah SSW edisi Oktober 2012. Dari
tulisan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji penjelasan literatur Prof.
Erlyn tentang revitalisasi Polri dari mulai memahami kembali penegakan hukum
dalam konteks fungsi, tujuan, peran dan tugas pokok kepolisian hingga bermuara
kepada pertanyaan tentang “Dimanakah peran polisi yang optimum dapat dicapai ?”
Tulisan ini dibagi 2 bagian yang pertama menjelaskan pendekatan kualitatif dan
kedua bagaimana caranya peran optimum itu dapat dicapai melalui pendekatan
kualitatif.
Dalam
tulisan tersebut, Prof. Erlyn mengajukan dua
premis dalam upaya revitalisasi
yaitu, pertama, apabila peran
penegak hukum memberikan hasil yang “terbanyak” atau bahkan yang “tersedikit”,
namun sepanjang inilah yang memang dikehendaki polisi dan publik melalui proses
resultante, maka ialah yang dianggap
“terbaik” atau yang “paling pas”. Dengan demikian peran polisi sebagai penegak
hukum lah yang optimum. Selanjutnya, kedua, bila dihadapkan pada pertanyaan
“Bagaimanakah kita bisa belajar mengetahui titik-titik optimum dari satu waktu
ke waktu yang lain dan dari satu tempat
ke tempat yang lain ? Prof. Erlyn mengajukan jawaban dengan cara memahami “seni
berperan” atau resultante peran tugas pokok polisi dengan cara satu-satunya
adalah menceburkan diri ke dalam penelitian kualitatif. Karena dengan
penelitian kualitatif diharapkan dapat memahami permasalahan secara
komperehensif.
Dari premis yang kedua
ini, penulis tertarik untuk mencoba mendeskripsikan bagaimana pendekatan
kualitatif bisa menjadi cara untuk memahami “seni berperan” atau resultante
peran tugas pokok polisi dalam rangka upaya optimumisasi peran Polri sebagai
salah satu upaya revitalisasi Polri ?
Pengenalan Pendekatan
Kualitatif
Pendekatan
kualititatif muncul dapat diihat sebagai upaya-upaya para ilmuwan untuk
merespon dari kegagalan kuantitatif memahami dan memecahkan permasalahan
sosial. Jika kita meruntut sejarah perkembangan ilmu sosial, pada awal abad 19
merupakan saat dominannya pendekatan kelembagaan yang dipimpin oleh
berkembangnya ilmu hukum, administrasi dan lembaga-lembaga politik. Ternyata
pendekatan ini mengalami kegagalan dalam memahami perilaku manusia. Kemudian
muncul respon ilmuwan dengan berkembangnya pendekatan perilaku, pendekatan
struktur fungsional atau pendekatan kuantitatif di tahun 1960-an yang dimotori
dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang lain seperti sosiologi, politik,
anthropologi, psikologi dan sebagainya.
Namun
dalam perkembangannnya, pendekatan perilaku ini (atau bagi penganut kualitatif
disebut sebagai pendekatan positivistik sebagai kontra dari pendekatan
kualitatif yang biasa disebut sebagai post positivistik) dipertanyakan bagaimana manusia bisa
disamakan dengan benda benda alam. Karena dalam pendekatan postivistik
teori-teori dan metode-metode yang digunakan mengadopsi metode-metode
penelitian untuk benda-benda mati. Sedangkan manusia tidak bisa disamakan
dengan benda benda mati. Manusia memiliki perasaan, emosi, motif, keinginan
yang tidak bisa diukur dalam pendekatan positivistik.
Sehingga berkembanglah
pendekatan kualitatif pada tahun 90-an sebagai respon dari kegagalan
kuantitatif memecahkan permasalahan sosial. Paradigma kualitatif ini masuk ke
Indonesia dibawa oleh para ilmuwan Indonesia yang sedang belajar di luar negeri
pada saat berkembangnya paradigma ini disana. Begitu mereka kembali ke
Indonesia di tahun 90-an hingga awal
2000-an, mereka mulai mengajarkan pendekatan ini. Materi-materi yang diajarkan
masih berupa diktat-diktat dan catatan-catatan kuliah, sedikit sekali yang
berupa buku-buku kuliah. Sehingga dapat dikatakan paradigma kualititaf ini
adalah paradigma yang baru, yang dengan demikian belum banyak buku-buku atau
hasil karya kualitatif ilmuwan Indonesia
yang beredar sekarang. Perkembangan pendekatan kualitatif di Indonesia ini
seiring pula dengan semakin berkembangnya ilmu kepolisian di Indonesia dengan
terbentuknya Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia-PTIK. Kajian-kajian
kualitatif mendominasi hasil kajian-kajian ilmu kepolisian KIK UI-PTIK. Dan
pendekatan kualitatif ini berkembang di berbagai disiplin ilmu sosial hingga ke
eksakta.
Apa itu Pendekatan Kualitatif ?
Tulisan
ini akan menjelaskan secara garis besar agar mudah memahami apa yang dimaksud
dengan pendekatan kualitatif. Di atas telah dijelaskan bahwa kualitatif muncul
sebagai respon dari upaya-upaya kuantitatif mengadopsi metode-metode yang
digunakan dalam meneliti benda – benda mati dimana benda –benda itu tidak
memiliki perasaan, emosi, motif dan keinginan-keinginan. Akibatnya dalam
kuantitatif, penelitian itu harus obyektif, bebas nilai, agar hasilnya bisa
berlaku secara universal dan berlaku dimana saja (positivistik). Sebagai
contoh, teori jika air dipanaskan hingga mencapai suhu 100 derajat celcius maka air itu akan mendidih. Teori ini akan berlaku di ujung dunia
manapun. Proses untuk mendapatkan teori dengan melakukannya di laboratorium. Artinya
dalam kuantitaif, obyek penelitiannya
diambil dari lingkungan keberadaannya dan melakukan penelitiannya dalam
laboratorium. Apabila hal ini diterapkan
ke obyek manusia atau kelompok masyarakat maka hal ini tidak mungkin dilakukan.
Maka
respon ilmuwan kualitatif terhadap hal
ini adalah bahwa untuk meneliti manusia, kelompok masyarakat, atau komunitas,
si peneliti harus turun dan berada di
lingkungannya itu sendiri. Peneliti harus membiarkan apa adanya obyek
penelitiannya di lingkungannya. Kehadiran si peneliti tidak boleh mempengaruhi interaksi
yang selama ini terjadi dalam obyek penelitian tersebut. Sehingga pendekatan
kualitatif itu bersifat subyektif, artinya subyektif dari sudut pandang si
obyek. Si peneliti harus melepaskan konsep-konsep, nilai-nilai atau
kebudayaannya sendiri dengan menggunakan konsep-konsep, nilai-nilai kebudayaan
obyek penelitiannya.
Prinsip-prinsip seperti
tersebut diatas bersumber dari teori Max Weber tentang tindakan sosial. Maka
dari itu pendekatan kualitatif sering dikatakan aliran weberian. Weber
menjelaskan tindakan sosial adalah semua perilaku manusia, dimana manusia itu
memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan itu bisa
terbuka, tersembunyi, interprestasi positif dari suatu situasi atau sengaja
berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut (Dr.Deddy
Mulyana).Sedangkan menurut Kamanto Sunarto,
Max Weber menjelaskan,
“Tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat
mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat
serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang
dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada
perilaku orang lain”.
Masyarakat
menurut Weber adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang berpikir
dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna. (versthen). Perilaku yang
nampak hanyalah sebagian saja dari keseluruhan perilaku mereka. Konsekuensinya
maka pendekatan ilmu alam tidak sesuai untuk menelaah perilaku invidu yang
bermakna sosial, karena pendekatan ilmu alam hanya mempertimbangkan
gejal-gejala yang nampak saja dan mengabaikan kekuatan-kekautan tersembunyi
yang menggerakkan manusia seperti emosi, gagasan, maksud, motif, perasaan,
tekad dan sebagainya.
Kalau demikian apa
sebenarnya yang diteliti dalam penelitian kualitatif ? Prof Parsudi
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut :
“Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau
pola-pola. Dalam pendekatan kualitatif yang dianalisis gejala-gejala sosial dan
budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk
memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang
ditemukan tadi dianalisis lagi dengan teori-teori yang obyektif”.(Parsudi
Suparlan, PhD, 1994)
Dari
definisi tersebut, Prof.Parsudi menjelaskan kualitatif memusatkan perhatiannya
pada prinsip-prinsip umum yang mendasari terwujudnya satuan-satuan gejala yang
ada. Sehingga kualitatif bisa juga disebut pendekatan fenomenologi. Kalau
demikian apa yang disebut gejala atau fenomena itu ? fenomena berasal dari kata
Yunani yaitu phainomenon yang berarti “apa yang terlihat”. Fenomena
terjadi saat kita melihat atau merasakan sesuatu, misalnya hal-hal yang
dirasakan oleh panca indera kita. Suatu fenomena sosial misalnya apabila kita
melihat atau merasakan sesuatu dalam masyarakat sosial. Misalnya suatu gejala
sosial, maraknya peredaran narkoba di kalangan remaja, meningkatnya konflik
berlatar belakang sara, atau dalam konteks ilmu kepolisian misalnya peran pengawas
penyidik dalam proses penyidikan, peran penyidik dalam penyelesaian konflik
adat dan sebagainya.
Dengan
demikian sasaran kajian dalam kualitatif berbeda dengan sasaran kajian dalam
kuantitatif. Sasaran kajian dalam kuantitatif adalah gejala-gejala yang
mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia yang disebut variabel
(variabel dependen dan independen) yang
dianalisis hakekat hubungannya dengan teori-teori yang obyektif dan dibuktikan
kebenaranya. Hasilnya adalah terbukti atau tidak.
Sedangkan
dalam kualitatif sasaran kajiannya adalah kaitan hubungan dengan
prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala lainnya
dengan menggunakan kebudayaan yang bersangkutan (kelompok atau komunitas ) dan
dari hasil analisis tersebut dianalisis lagi menggunakan seperangkat teori yang
berlaku. Hasilnya adalah penjelasan atau teori yang kontekstual. Menurut
pendekatan kualitatif, suatu gejala itu tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri.
Suatu gejala itu ada karena dijelaskan oleh gejala yang lain. Kita tidak akan
pernah mengetahui apa dan bagaimana warna yang disebut dengan warna merah
apabila tidak ada warna selain warna merah (misalkan warna putih, hitam, hijau
dan sebagainya). Artinya bahwa warna merah itu ada karena ada warna-warna yang
lain. Apabila warna merah kita asumsikan
sebagai suatu gejala maka penjelasan kuantitatif akan gagal menjelaskan warna
merah itu apa? Sebaliknya menurut kualitatif,
penjelasan yang mana warna merah itu akan mudah diketahui dengan
menyandingkannya dengan warna-warna yang lain (gejala-gejala yang lain).
Jadi dalam kualitatif yang menjadi
sasaran yang diteliti itu adalah makna dibalik perilaku tersebut. Kita bisa
menyebutkan itu adalah warna merah karena kita tahu ada warna-warna selain
warna merah.
Sedangkan
John Cresswell (1994) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai proses
penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan
pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan
pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.
Sehingga dapat dikatakan pendekatan kualitatif itu adalah suatu proses
penyelidikan secara terinci, detil, holistik, logik atau ilmiah. Proses
kualitatif ini sama persis seperti proses penyelidikan untuk mencari kebenaran
(pelaku kejahatan) yang dilakukan oleh seorang detektif dalam menyelidiki siapa
sebenarnya pelaku kejahatan (Misalnya cerita-cerita detektif Sherlock Holmes).
Atau, dalam sistem kepolisian, seperti proses penyelidikan dan penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik. Mulai dari penyelidikan hingga ke penyidikan dan
menuangkannya dalam BAP.
Seorang
penyidik, sebelum memulai penyelidikan dan penyidikannya, belum memiliki
pengetahuan tentang siapa pelaku dan
motifnya, namun penyidik tersebut sudah
memiliki kecurigaan-kecurigaan berdasarkan barang bukti, alat bukti, tkp atau
informasi-informasi yang sudah didapat (asas praduga tak bersalah). Seorang
peneliti kualitatif, sebelum melakukan penelitian, tidak memiliki hipotesa yang
harus dibuktikan kebenarannya namun menyusun hipotesa-hipotesa yang akan
menjadi pedomannya untuk melakukan
penelitiannya.
Bagi
penyidik, TKP yang masih asli, natural, belum diacak-acak menjadi penting dalam
upaya mengungkap suatu tindak kejahatan. Agar barang bukti maupun alat-alat
bukti yang ada tidak hilang atau kabur.
Sehingga sering kita lihat disekitar TKP dipasang garis polisi
(police line). Demikian juga bagi
seorang peneliti kualitatif. Konstruksi sosial tidak boleh berubah saat
peneliti mulai masuk melakukan penelitian ke dalam obyek penelitiannya.
Peneliti kualitatif harus membiarkan obyek penelitiannya seperti apa adanya
secara natural (Kualitatif juga dikenal sebagai naturalistik). Kehadiran
peneliti kualitatif ke dalam obyek penelitian tidak boleh mempengaruhi
interaksi yang sudah ada dan terjadi. Kehadiran peneliti kualitatif tidak boleh
seperti jika kita melempar batu ke dalam air kolam yang tenang akan menimbulkan
riak-riak gelombang.
Seorang
penyidik, dalam proses penyidikannya selain mengumpulkan barang bukti, alat
bukti, saksi-saksi, pengakuan-pengakuan serta informasi-informasi yang
relevan, juga menganalisis,
mengkait-kaitkannya, merangkaikannya, menyimpulkannya untuk menemukan motif dan
mendakwakannya kepada terduga yang beracara sesuai KUHAP dan pelanggaran pasal
pasal pidananya serta sanksinya berdasarkan KUHP. Sehingga hasil penyidikan
adalah dakwaan pelanggaran pidana dan sanksinya beserta tersangkanya. Seorang
peneliti kualitatif dalam proses penelitiannya selain mengumpulkan dan mencari data yang relevan dengan
penelitiannya juga menganalisis, mengkait-kaitkan, merangkaikan, menyusun
logikanya berdasarkan teori-teori yang
digunakan terhadap data tersebut dalam pembahasannya
untuk menemukan penjelasan atau teori
yang kontekstual terhadap penelitiannya. Sehingga peneliti kualitatif hasilnya
adalah teori baru yang kontekstual.
Seorang
penyidik dalam proses penyelidikan dan penyidikan bisa berulang-ulang sepanjang
memerlukan keterangan yang valid dan jelas, untuk memanggil saksi, melakukan pengejaran
dan penangkapan, mengumpulkan barang bukti dalam rangka untuk menyusun gambaran
yang utuh dan lengkap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh tersangkanya.
Batasan proses penyidikan dalam beracaranya adalah KUHAP dan tindak pidananya
adalah pasal-pasal KUHP. Sehingga seorang penyidik harus menguasai betul
tentang KUHAP dan KUHP agar tidak menyimpang dari batasan tersebut.
Seorang
peneliti kualitatif dalam proses penelitiannya berulang-ulang terjun ke
lapangan dalam rangka untuk mendapatkan data, menggali informasi atau memperdalam pemahamannya terhadap gejala
sosial. Artinya seorang peneliti kualitatif saat melakukan pengumpulan data
juga melakukan analisis data berdasarkan teori-teori yang berlaku. Pengumpulan
dan analisa data dilakukan secara bersamaan. Apabila data yang didapat kurang
jelas menurut analisisnya maka peneliti akan memperdalamnya kembali dengan cara
turun lagi ke lapangan untuk mendapatkan kejelasan tersebut. Hal ini dilakukan
dalam rangka untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan lengkap atas gejala
sosial tersebut. Proses ini terus menerus dilakukan hingga data atau informasi
yang didapat dianggap cukup signifikan oleh si peneliti. Sehingga batasan
proses penelitian adalah si peneliti itu sendiri. Karena itu seorang peneliti
kualitatif harus menguasai betul tentang konsep dan teori yang akan digunakan.
Bekal penguasaan yang matang tentang teori dan konsep menjadi penting bagi
peneliti kualitatif agar berhasil dalam melakukan penelitiannya.
Hasil
proses penyidikan oleh si penyidik dituangkan secara tertulis dalam bentuk BAP
(Berita Acara Pidana). Dalam BAP itu penyidik secara detil, rinci, runtun
menyusun suatu penggambaran terjadinya tindak pidana dengan menggunakan logika
hukum berdasarkan fakta-fakta hukum dan pengakuan-pengakuan para saksi dan
barang buktinya. Pernyataan-pernyataan langsung dari para saksi maupun
tersangka yang berupa kutipan-kutipan langsung yang ditulis oleh si penyidik
mendominasi tulisan-tulisan didalam BAP. Keterangan-keterangan saksi dan
terdakwa tersebut memiliki efek hukum. Sehingga bisa kita lihat bahwa setiap di
awal BAP pojok kiri atas tertuis “Pro Justistia” yang mengandung makna bahwa
keterangan yang akan diberikan itu memiliki konsekuensi hukum karenanya
keterangan itu harus diberikan dengan sejujur-jujurnya berdasarkan fakta yang
terjadi.
Hasil
proses penelitian si peneliti kualitatif dituangkan secara tertulis dalam
bentuk naskah yang berupa skripsi, tesis disertasi ataupun naskah-naskah
lainnya. Naskah kualitatif tersebut menggambarkan secara jelas menggunakan
metode kualitatif dan menyusun hasil penelitiannya secara rinci, runtun, logis,
linier. Tulisan hasil penelitian kualitatif banyak menggunakan data-data berupa
kutipan-kutipan langsung dari sumber informasinya atau informan. Tidak berupa
angka-angka hasil perhitungan statistik. Sehingga seringkali tulisan kualitatf
penyajiannya mirip tulisan dalam buku-buku cerita dan novel-novel. Namun bukan
berarti informasi dan data tersebut tidak ilmiah, sebab data dan informasi yang
diungkapkan oleh si peneliti yang berupa kutipan-kutipan langsung informan memiliki validitas yang tinggi. Kebenaran
data dan informasi tersebut memiliki kaidah
ilmiah. Sama seperti dalam proses penyidikan. Dalam BAP,
keterangan-keterangan saksi yang ditulis dengan mengutipnya secara langsung
memiliki konsekuensi hukum yang apabila memberikan keterangan palsu bisa
mendapat sanksi hukuman. Demikian pula dalam penelitian kualitatif, keterangan
informan yang berupa kutipan-kutipan langsung adalah data dan informasi yang
benar-benar didapat dari hasil penelitian di lapangan. Sebaliknya, apabila
kutipan-kutipan langsung tersebut merupakan hasil rekayasa atau karangan si
peneliti itu sendiri dan tidak berdasarkan fakta yang terjadi maka akan mendapatkan sanksi ilmiah.
Bagaimana
Ilmu Kepolisian yang kualitatif itu ?
Untuk
menjawabnya kita harus menjelaskan kembali apa dan bagaimana ilmu kepolisian
itu. Munculnya ilmu kepolisian dalam sejarahnya bermula dari kebutuhan untuk menghasilkan tenaga ahli atau
profesi dalam bidang ilmu kepolisian. Demikian pula di Indonesia dengan
berdirinya PTIK di awal tahun 50-an. Di Amerika Serikat, kajian ilmu kepolisian
yang diselenggarakan di perguruan tinggi berubah menjadi ilmu pengetahuan
dengan berbagai nama antara lain police studies, police administration, dan
nama – nama lainnya. Namun begitu, walaupun telah ada ilmu kepolisian sebagai
bidang ilmu, program-program yang dinamakan sebagai kajian kepolisian tetap
eksis. Nampaknya perbedaan tersebut bukanlah prinsip, tetapi lebih pada
permasalahan sejarah setempat dari keberadaan kajian ilmu kepolisian atau ilmu
kepolisiannya.
Demikian
juga terhadap apakah kajian ilmu kepolisian itu multi bidang atau antar bidang.
Para ahli ilmu kepolisian memperdebatkannya istilah ini. Ilmu kepolisian
menurut Prof. Harsya Bachtiar adalah terbentuk sebagai hasil penggabungan
unsur-unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan,
terutama pengetahuan hukum seperti hukum pidana dan perdata, kriminologi, dan
sebagainya. Menurut Prof. Parsudi Suparlan (2004), permasalahannya adalah pada
“hasil penggabungan unsur-unsur pengetahuan dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan”. Kalau ilmu kepolisian itu adalah hasil dari penggabungan dari
berbagai disiplin ilmu maka akan menghasilkan sebuah program pendidikan multi
bidang (multi disciplinary program). Dalam program yang multi bidang itu,
masing-masing bidang ilmu berdiri sendiri sehingga dalam program tersebut
mencakup pelajaran mengenai dan pengembangan pelajaran misalnya sosisologi,
antropologi, ilmu administrasi dan sebagainya. Mahasiswa ilmu kepolisian yang
tamat akan menjadi ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, bukannya menjadi
petugas kepolisian profesional.
Sebalikinya
menurut Prof.Parsudi, ilmu kepolisan itu adalah antar bidang. Dimana sesuai
dengan tujuan diadakannya program pendidikan kepolisian, yaitu menghasilkan
petugas kepolisan yang profesional sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat,
maka seharusnya dilakukan menurut paradigma antar bidang. Dalam paradigma antar
bidang ini, mata-mata ajaran yang seharusnya diajarkan kepada para mahasiswa
bukanlah ilmu ilmunya (yang mencakup paradigma, metodologi dan
metode-metodenya, teori-teori dan konsep-konsep yang ada dalam khasanah
masing-masing ilmu pengetahuan tersebut). Namun, sejumlah mata ajaran dari
berbagai bidang ilmu yang relevan dengan ruang lingkup ilmu kepolisian dan
sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan petugas-petugas kepolisian yang dapat
berfungsi secara profesional sesuai dengan tuntuan kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan. Misalnya mata ajaran Hubungan Antar Suku Bangsa yang merupakan
sasaran kajian Antropologi bukannya mata ajaran Antropologinya. Atau, Komuniti dan Primodialisme yang
merupakan salah satu sasaran kajian Sosiologi bukannya mata ajaran Sosisologi,
dan lain sebagainya.
Prof.
Parsudi selanjutnya menjelaskan bahwa paradigma yang sejalan dengan dan yang
mendukung paradigma antar bidang ini adalah metodologi kualitatif. Metode
kualitatif harus juga digunakan sebagai landasan pengembangan ilmu kepolisian,
karena penekanan dari metodologi kualitatif adalah pemahaman (verstehen) yang
merupakan hasil interprestasi, induktif atau naturalistik dan holistik
atau sistemik. Ini berbeda dan bahkan
bertentangan dengan metode kuantitatif yang menekankan pada pengukuran, parsial
dan deduktif.
Dengan demikian apa
definisi ilmu kepolisian yang kualitatif itu menurut Prof.Parsudi (2004), yaitu
:
“sebuah
bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu
penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat,
mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari
teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta
cara-cara pencegahannya.”
Sebagai
sebuah bidang ilmu pengetahuan untuk profesi, Prof. Parsudi melanjutkan, 1)
ilmu kepolisian menekankan kajiannya
pada pengidentifikasian masalah-masalah dan pemecahannya secara profesional.
Karena itu dalam pendekatan metodologinya ilmu kepolisian menekankan pada
pentingnya pendekatan antar bidang (interdisplinary approach), walaupun
pendekatan mono bidang ataupun multi bidang juga digunakan, 2) bukan hanya
pendekatannya yang mempengaruhi perkembangan dan ilmu kepolisian sebagai ilmu
pengetahuan, tetapi yang juga berpengaruh besar terhadap perkembangannya
sebagai ilmu pengetahuan adalah masalah-masalah dan isu-isu sosial yang ada
dalam kehidupan masyarakat dimana polisi tersebut berfungsi. Konteks masyarakat
dan kebudayaannya dimana polisi itu berfungsi merupakan isu yang kritikal dalam
menilai berfungsi atau tidaknya polisi sebagai sebuah pranata otonom dan
sebagai organisasi pengayom masyarakat serta penegak hukum.
Mengapa
penulis menyatakan ilmu kepolisian yang kualitatif ? Hal ini untuk menghormati
pendukung ilmu kepolisian yang kuantitatif. Penulis tidak sepihak menyatakan bahwa ilmu kepolisian itu
kualitatif. Karena dalam ilmu kepolisian itu sendiri terdapat penganut
kualitatif dan kuantitatif, juga penganut multi disipliner dan inter
disipliner. Perbedaan aliran ini dalam
suatu ilmu pengetahuan sah-sah saja terjadi. Asal dalam melakukan suatu
penelitian mereka harus secara konsisten menggunakan aliran, paradigma dan
metode yang digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar