Minggu, 10 Agustus 2014

Pendekatan Kualitatif dalam upaya optimumisasi peran Polri (Bagian 1)

oleh
Bejo Andrianto, M.Si 
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan pendalaman dari tulisan Prof.Erlyn SH, MH, PhD yang berjudul “Polisi, Penegakan Hukum dan Pengawasan Eksternal: Sebuah upaya revitalisasi”  dalam majalah SSW edisi Oktober 2012. Dari tulisan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji penjelasan literatur Prof. Erlyn tentang revitalisasi Polri dari mulai memahami kembali penegakan hukum dalam konteks fungsi, tujuan, peran dan tugas pokok kepolisian hingga bermuara kepada pertanyaan tentang “Dimanakah peran polisi yang optimum dapat dicapai ?” Tulisan ini dibagi 2 bagian yang pertama menjelaskan pendekatan kualitatif dan kedua bagaimana caranya peran optimum itu dapat dicapai melalui pendekatan kualitatif.
Dalam tulisan tersebut, Prof. Erlyn mengajukan dua  premis dalam upaya revitalisasi  yaitu,  pertama, apabila peran penegak hukum memberikan hasil yang “terbanyak” atau bahkan yang “tersedikit”, namun sepanjang inilah yang memang dikehendaki polisi dan publik melalui proses resultante, maka ialah  yang dianggap “terbaik” atau yang “paling pas”. Dengan demikian peran polisi sebagai penegak hukum lah yang optimum. Selanjutnya, kedua, bila dihadapkan pada pertanyaan “Bagaimanakah kita bisa belajar mengetahui titik-titik optimum dari satu waktu ke waktu  yang lain dan dari satu tempat ke tempat yang lain ? Prof. Erlyn mengajukan jawaban dengan cara memahami “seni berperan” atau resultante peran tugas pokok polisi dengan cara satu-satunya adalah menceburkan diri ke dalam penelitian kualitatif. Karena dengan penelitian kualitatif diharapkan dapat memahami permasalahan secara komperehensif.
Dari premis yang kedua ini, penulis tertarik untuk mencoba mendeskripsikan bagaimana pendekatan kualitatif bisa menjadi cara untuk memahami “seni berperan” atau resultante peran tugas pokok polisi dalam rangka upaya optimumisasi peran Polri sebagai salah satu upaya revitalisasi Polri ?

Pengenalan Pendekatan Kualitatif
 Pendekatan kualititatif muncul dapat diihat sebagai upaya-upaya para ilmuwan untuk merespon dari kegagalan kuantitatif memahami dan memecahkan permasalahan sosial. Jika kita meruntut sejarah perkembangan ilmu sosial, pada awal abad 19 merupakan saat dominannya pendekatan kelembagaan yang dipimpin oleh berkembangnya ilmu hukum, administrasi dan lembaga-lembaga politik. Ternyata pendekatan ini mengalami kegagalan dalam memahami perilaku manusia. Kemudian muncul respon ilmuwan dengan berkembangnya pendekatan perilaku, pendekatan struktur fungsional atau pendekatan kuantitatif di tahun 1960-an yang dimotori dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang lain seperti sosiologi, politik, anthropologi, psikologi dan sebagainya.
Namun dalam perkembangannnya, pendekatan perilaku ini (atau bagi penganut kualitatif disebut sebagai pendekatan positivistik sebagai kontra dari pendekatan kualitatif yang biasa disebut sebagai post positivistik)  dipertanyakan bagaimana manusia bisa disamakan dengan benda benda alam. Karena dalam pendekatan postivistik teori-teori dan metode-metode yang digunakan mengadopsi metode-metode penelitian untuk benda-benda mati. Sedangkan manusia tidak bisa disamakan dengan benda benda mati. Manusia memiliki perasaan, emosi, motif, keinginan yang tidak bisa diukur dalam pendekatan positivistik.
Sehingga berkembanglah pendekatan kualitatif pada tahun 90-an sebagai respon dari kegagalan kuantitatif memecahkan permasalahan sosial. Paradigma kualitatif ini masuk ke Indonesia dibawa oleh para ilmuwan Indonesia yang sedang belajar di luar negeri pada saat berkembangnya paradigma ini disana. Begitu mereka kembali ke Indonesia di tahun 90-an hingga  awal 2000-an, mereka mulai mengajarkan pendekatan ini. Materi-materi yang diajarkan masih berupa diktat-diktat dan catatan-catatan kuliah, sedikit sekali yang berupa buku-buku kuliah. Sehingga dapat dikatakan paradigma kualititaf ini adalah paradigma yang baru, yang dengan demikian belum banyak buku-buku atau hasil karya kualitatif  ilmuwan Indonesia yang beredar sekarang. Perkembangan pendekatan kualitatif di Indonesia ini seiring pula dengan semakin berkembangnya ilmu kepolisian di Indonesia dengan terbentuknya Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia-PTIK. Kajian-kajian kualitatif mendominasi hasil kajian-kajian ilmu kepolisian KIK UI-PTIK. Dan pendekatan kualitatif ini berkembang di berbagai disiplin ilmu sosial hingga ke eksakta.

Apa itu Pendekatan Kualitatif ?
Tulisan ini akan menjelaskan secara garis besar agar mudah memahami apa yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif. Di atas telah dijelaskan bahwa kualitatif muncul sebagai respon dari upaya-upaya kuantitatif mengadopsi metode-metode yang digunakan dalam meneliti benda – benda mati dimana benda –benda itu tidak memiliki perasaan, emosi, motif dan keinginan-keinginan. Akibatnya dalam kuantitatif, penelitian itu harus obyektif, bebas nilai, agar hasilnya bisa berlaku secara universal dan berlaku dimana saja (positivistik). Sebagai contoh, teori jika air dipanaskan hingga mencapai suhu 100 derajat celcius  maka air itu akan mendidih.  Teori ini akan berlaku di ujung dunia manapun. Proses untuk mendapatkan teori dengan melakukannya di laboratorium. Artinya dalam kuantitaif,  obyek penelitiannya diambil dari lingkungan keberadaannya dan melakukan penelitiannya dalam laboratorium.  Apabila hal ini diterapkan ke obyek manusia atau kelompok masyarakat maka hal ini tidak mungkin dilakukan.
Maka respon  ilmuwan kualitatif terhadap hal ini adalah bahwa untuk meneliti manusia, kelompok masyarakat, atau komunitas, si peneliti  harus turun dan berada di lingkungannya itu sendiri. Peneliti harus membiarkan apa adanya obyek penelitiannya di lingkungannya. Kehadiran si peneliti tidak boleh mempengaruhi interaksi yang selama ini terjadi dalam obyek penelitian tersebut. Sehingga pendekatan kualitatif itu bersifat subyektif, artinya subyektif dari sudut pandang si obyek. Si peneliti harus melepaskan konsep-konsep, nilai-nilai atau kebudayaannya sendiri dengan menggunakan konsep-konsep, nilai-nilai kebudayaan obyek penelitiannya.
Prinsip-prinsip seperti tersebut diatas bersumber dari teori Max Weber tentang tindakan sosial. Maka dari itu pendekatan kualitatif sering dikatakan aliran weberian. Weber menjelaskan tindakan sosial adalah semua perilaku manusia, dimana manusia itu memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan itu bisa terbuka, tersembunyi, interprestasi positif dari suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut (Dr.Deddy Mulyana).Sedangkan menurut Kamanto Sunarto,  Max Weber menjelaskan,
Tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain”.
Masyarakat menurut Weber adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang berpikir dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna. (versthen). Perilaku yang nampak hanyalah sebagian saja dari keseluruhan perilaku mereka. Konsekuensinya maka pendekatan ilmu alam tidak sesuai untuk menelaah perilaku invidu yang bermakna sosial, karena pendekatan ilmu alam hanya mempertimbangkan gejal-gejala yang nampak saja dan mengabaikan kekuatan-kekautan tersembunyi yang menggerakkan manusia seperti emosi, gagasan, maksud, motif, perasaan, tekad dan sebagainya.
Kalau demikian apa sebenarnya yang diteliti dalam penelitian kualitatif ? Prof Parsudi mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut :
“Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola. Dalam pendekatan kualitatif yang dianalisis gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan teori-teori yang obyektif”.(Parsudi Suparlan, PhD, 1994)
Dari definisi tersebut, Prof.Parsudi menjelaskan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari terwujudnya satuan-satuan gejala yang ada. Sehingga kualitatif bisa juga disebut pendekatan fenomenologi. Kalau demikian apa yang disebut gejala atau fenomena itu ? fenomena berasal dari kata Yunani yaitu phainomenon yang berarti “apa yang terlihat”. Fenomena terjadi saat kita melihat atau merasakan sesuatu, misalnya hal-hal yang dirasakan oleh panca indera kita. Suatu fenomena sosial misalnya apabila kita melihat atau merasakan sesuatu dalam masyarakat sosial. Misalnya suatu gejala sosial, maraknya peredaran narkoba di kalangan remaja, meningkatnya konflik berlatar belakang sara, atau dalam konteks ilmu kepolisian misalnya peran pengawas penyidik dalam proses penyidikan, peran penyidik dalam penyelesaian konflik adat dan sebagainya. 
Dengan demikian sasaran kajian dalam kualitatif berbeda dengan sasaran kajian dalam kuantitatif. Sasaran kajian dalam kuantitatif adalah gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia yang disebut variabel (variabel dependen dan independen)  yang dianalisis hakekat hubungannya dengan teori-teori yang obyektif dan dibuktikan kebenaranya. Hasilnya adalah terbukti atau tidak.
Sedangkan dalam kualitatif sasaran kajiannya adalah kaitan hubungan dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala lainnya dengan menggunakan kebudayaan yang bersangkutan (kelompok atau komunitas ) dan dari hasil analisis tersebut dianalisis lagi menggunakan seperangkat teori yang berlaku. Hasilnya adalah penjelasan atau teori yang kontekstual. Menurut pendekatan kualitatif, suatu gejala itu tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri. Suatu gejala itu ada karena dijelaskan oleh gejala yang lain. Kita tidak akan pernah mengetahui apa dan bagaimana warna yang disebut dengan warna merah apabila tidak ada warna selain warna merah (misalkan warna putih, hitam, hijau dan sebagainya). Artinya bahwa warna merah itu ada karena ada warna-warna yang lain.  Apabila warna merah kita asumsikan sebagai suatu gejala maka penjelasan kuantitatif akan gagal menjelaskan warna merah itu apa? Sebaliknya menurut kualitatif,  penjelasan yang mana warna merah itu akan mudah diketahui dengan menyandingkannya dengan warna-warna yang lain (gejala-gejala yang lain). Jadi  dalam kualitatif yang menjadi sasaran yang diteliti itu adalah makna dibalik perilaku tersebut. Kita bisa menyebutkan itu adalah warna merah karena kita tahu ada warna-warna selain warna merah.  
Sedangkan John Cresswell (1994) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Sehingga dapat dikatakan pendekatan kualitatif itu adalah suatu proses penyelidikan secara terinci, detil, holistik, logik atau ilmiah. Proses kualitatif ini sama persis seperti proses penyelidikan untuk mencari kebenaran (pelaku kejahatan) yang dilakukan oleh seorang detektif dalam menyelidiki siapa sebenarnya pelaku kejahatan (Misalnya cerita-cerita detektif Sherlock Holmes). Atau, dalam sistem kepolisian, seperti proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Mulai dari penyelidikan hingga ke penyidikan dan menuangkannya dalam BAP.
Seorang penyidik, sebelum memulai penyelidikan dan penyidikannya, belum memiliki pengetahuan tentang siapa pelaku  dan motifnya,  namun penyidik tersebut sudah memiliki kecurigaan-kecurigaan berdasarkan barang bukti, alat bukti, tkp atau informasi-informasi yang sudah didapat (asas praduga tak bersalah). Seorang peneliti kualitatif, sebelum melakukan penelitian, tidak memiliki hipotesa yang harus dibuktikan kebenarannya namun menyusun hipotesa-hipotesa yang akan menjadi pedomannya untuk  melakukan penelitiannya.
Bagi penyidik, TKP yang masih asli, natural, belum diacak-acak menjadi penting dalam upaya mengungkap suatu tindak kejahatan. Agar barang bukti maupun alat-alat bukti yang ada tidak hilang atau kabur.  Sehingga sering kita lihat disekitar TKP dipasang garis polisi (police  line). Demikian juga bagi seorang peneliti kualitatif. Konstruksi sosial tidak boleh berubah saat peneliti mulai masuk melakukan penelitian ke dalam obyek penelitiannya. Peneliti kualitatif harus membiarkan obyek penelitiannya seperti apa adanya secara natural (Kualitatif juga dikenal sebagai naturalistik). Kehadiran peneliti kualitatif ke dalam obyek penelitian tidak boleh mempengaruhi interaksi yang sudah ada dan terjadi. Kehadiran peneliti kualitatif tidak boleh seperti jika kita melempar batu ke dalam air kolam yang tenang akan menimbulkan riak-riak gelombang.     
Seorang penyidik, dalam proses penyidikannya selain mengumpulkan barang bukti, alat bukti, saksi-saksi, pengakuan-pengakuan serta informasi-informasi yang relevan,  juga menganalisis, mengkait-kaitkannya, merangkaikannya, menyimpulkannya untuk menemukan motif dan mendakwakannya kepada terduga yang beracara sesuai KUHAP dan pelanggaran pasal pasal pidananya serta sanksinya berdasarkan KUHP. Sehingga hasil penyidikan adalah dakwaan pelanggaran pidana dan sanksinya beserta tersangkanya. Seorang peneliti kualitatif dalam proses penelitiannya selain mengumpulkan  dan mencari data yang relevan dengan penelitiannya juga menganalisis, mengkait-kaitkan, merangkaikan, menyusun logikanya  berdasarkan teori-teori yang digunakan terhadap  data tersebut dalam pembahasannya untuk  menemukan penjelasan atau teori yang kontekstual terhadap penelitiannya. Sehingga peneliti kualitatif hasilnya adalah teori baru yang kontekstual.
Seorang penyidik dalam proses penyelidikan dan penyidikan bisa berulang-ulang sepanjang memerlukan keterangan yang valid dan jelas, untuk memanggil saksi, melakukan pengejaran dan penangkapan, mengumpulkan barang bukti dalam rangka untuk menyusun gambaran yang utuh dan lengkap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh tersangkanya. Batasan proses penyidikan dalam beracaranya adalah KUHAP dan tindak pidananya adalah pasal-pasal KUHP. Sehingga seorang penyidik harus menguasai betul tentang KUHAP dan KUHP agar tidak menyimpang dari batasan tersebut.
Seorang peneliti kualitatif dalam proses penelitiannya berulang-ulang terjun ke lapangan dalam rangka untuk mendapatkan data, menggali informasi atau  memperdalam pemahamannya terhadap gejala sosial. Artinya seorang peneliti kualitatif saat melakukan pengumpulan data juga melakukan analisis data berdasarkan teori-teori yang berlaku. Pengumpulan dan analisa data dilakukan secara bersamaan. Apabila data yang didapat kurang jelas menurut analisisnya maka peneliti akan memperdalamnya kembali dengan cara turun lagi ke lapangan untuk mendapatkan kejelasan tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan lengkap atas gejala sosial tersebut. Proses ini terus menerus dilakukan hingga data atau informasi yang didapat dianggap cukup signifikan oleh si peneliti. Sehingga batasan proses penelitian adalah si peneliti itu sendiri. Karena itu seorang peneliti kualitatif harus menguasai betul tentang konsep dan teori yang akan digunakan. Bekal penguasaan yang matang tentang teori dan konsep menjadi penting bagi peneliti kualitatif agar berhasil dalam melakukan penelitiannya.
Hasil proses penyidikan oleh si penyidik dituangkan secara tertulis dalam bentuk BAP (Berita Acara Pidana). Dalam BAP itu penyidik secara detil, rinci, runtun menyusun suatu penggambaran terjadinya tindak pidana dengan menggunakan logika hukum berdasarkan fakta-fakta hukum dan pengakuan-pengakuan para saksi dan barang buktinya. Pernyataan-pernyataan langsung dari para saksi maupun tersangka yang berupa kutipan-kutipan langsung yang ditulis oleh si penyidik mendominasi tulisan-tulisan didalam BAP. Keterangan-keterangan saksi dan terdakwa tersebut memiliki efek hukum. Sehingga bisa kita lihat bahwa setiap di awal BAP pojok kiri atas tertuis “Pro Justistia” yang mengandung makna bahwa keterangan yang akan diberikan itu memiliki konsekuensi hukum karenanya keterangan itu harus diberikan dengan sejujur-jujurnya berdasarkan fakta yang terjadi.
Hasil proses penelitian si peneliti kualitatif dituangkan secara tertulis dalam bentuk naskah yang berupa skripsi, tesis disertasi ataupun naskah-naskah lainnya. Naskah kualitatif tersebut menggambarkan secara jelas menggunakan metode kualitatif dan menyusun hasil penelitiannya secara rinci, runtun, logis, linier. Tulisan hasil penelitian kualitatif banyak menggunakan data-data berupa kutipan-kutipan langsung dari sumber informasinya atau informan. Tidak berupa angka-angka hasil perhitungan statistik. Sehingga seringkali tulisan kualitatf penyajiannya mirip tulisan dalam buku-buku cerita dan novel-novel. Namun bukan berarti informasi dan data tersebut tidak ilmiah, sebab data dan informasi yang diungkapkan oleh si peneliti yang berupa kutipan-kutipan langsung informan  memiliki validitas yang tinggi. Kebenaran data dan informasi tersebut memiliki kaidah  ilmiah. Sama seperti dalam proses penyidikan. Dalam BAP, keterangan-keterangan saksi yang ditulis dengan mengutipnya secara langsung memiliki konsekuensi hukum yang apabila memberikan keterangan palsu bisa mendapat sanksi hukuman. Demikian pula dalam penelitian kualitatif, keterangan informan yang berupa kutipan-kutipan langsung adalah data dan informasi yang benar-benar didapat dari hasil penelitian di lapangan. Sebaliknya, apabila kutipan-kutipan langsung tersebut merupakan hasil rekayasa atau karangan si peneliti itu sendiri dan tidak berdasarkan fakta yang terjadi  maka akan mendapatkan sanksi ilmiah.

Bagaimana Ilmu Kepolisian yang kualitatif itu ?
Untuk menjawabnya kita harus menjelaskan kembali apa dan bagaimana ilmu kepolisian itu. Munculnya ilmu kepolisian dalam sejarahnya bermula dari  kebutuhan untuk menghasilkan tenaga ahli atau profesi dalam bidang ilmu kepolisian. Demikian pula di Indonesia dengan berdirinya PTIK di awal tahun 50-an. Di Amerika Serikat, kajian ilmu kepolisian yang diselenggarakan di perguruan tinggi berubah menjadi ilmu pengetahuan dengan berbagai nama antara lain police studies, police administration, dan nama – nama lainnya. Namun begitu, walaupun telah ada ilmu kepolisian sebagai bidang ilmu, program-program yang dinamakan sebagai kajian kepolisian tetap eksis. Nampaknya perbedaan tersebut bukanlah prinsip, tetapi lebih pada permasalahan sejarah setempat dari keberadaan kajian ilmu kepolisian atau ilmu kepolisiannya.
Demikian juga terhadap apakah kajian ilmu kepolisian itu multi bidang atau antar bidang. Para ahli ilmu kepolisian memperdebatkannya istilah ini. Ilmu kepolisian menurut Prof. Harsya Bachtiar adalah terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur-unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan hukum seperti hukum pidana dan perdata, kriminologi, dan sebagainya. Menurut Prof. Parsudi Suparlan (2004), permasalahannya adalah pada “hasil penggabungan unsur-unsur pengetahuan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan”. Kalau ilmu kepolisian itu adalah hasil dari penggabungan dari berbagai disiplin ilmu maka akan menghasilkan sebuah program pendidikan multi bidang (multi disciplinary program). Dalam program yang multi bidang itu, masing-masing bidang ilmu berdiri sendiri sehingga dalam program tersebut mencakup pelajaran mengenai dan pengembangan pelajaran misalnya sosisologi, antropologi, ilmu administrasi dan sebagainya. Mahasiswa ilmu kepolisian yang tamat akan menjadi ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, bukannya menjadi petugas kepolisian profesional.
Sebalikinya menurut Prof.Parsudi, ilmu kepolisan itu adalah antar bidang. Dimana sesuai dengan tujuan diadakannya program pendidikan kepolisian, yaitu menghasilkan petugas kepolisan yang profesional sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, maka seharusnya dilakukan menurut paradigma antar bidang. Dalam paradigma antar bidang ini, mata-mata ajaran yang seharusnya diajarkan kepada para mahasiswa bukanlah ilmu ilmunya (yang mencakup paradigma, metodologi dan metode-metodenya, teori-teori dan konsep-konsep yang ada dalam khasanah masing-masing ilmu pengetahuan tersebut). Namun, sejumlah mata ajaran dari berbagai bidang ilmu yang relevan dengan ruang lingkup ilmu kepolisian dan sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan petugas-petugas kepolisian yang dapat berfungsi secara profesional sesuai dengan tuntuan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Misalnya mata ajaran Hubungan Antar Suku Bangsa yang merupakan sasaran kajian Antropologi bukannya mata ajaran Antropologinya.  Atau, Komuniti dan Primodialisme yang merupakan salah satu sasaran kajian Sosiologi bukannya mata ajaran Sosisologi, dan lain sebagainya.
Prof. Parsudi selanjutnya menjelaskan bahwa paradigma yang sejalan dengan dan yang mendukung paradigma antar bidang ini adalah metodologi kualitatif. Metode kualitatif harus juga digunakan sebagai landasan pengembangan ilmu kepolisian, karena penekanan dari metodologi kualitatif adalah pemahaman (verstehen) yang merupakan hasil interprestasi, induktif atau naturalistik dan holistik atau  sistemik. Ini berbeda dan bahkan bertentangan dengan metode kuantitatif yang menekankan pada pengukuran, parsial dan deduktif.
Dengan demikian apa definisi ilmu kepolisian yang kualitatif itu menurut Prof.Parsudi (2004), yaitu :
“sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.”
Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan untuk profesi, Prof. Parsudi melanjutkan, 1) ilmu kepolisian  menekankan kajiannya pada pengidentifikasian masalah-masalah dan pemecahannya secara profesional. Karena itu dalam pendekatan metodologinya ilmu kepolisian menekankan pada pentingnya pendekatan antar bidang (interdisplinary approach), walaupun pendekatan mono bidang ataupun multi bidang juga digunakan, 2) bukan hanya pendekatannya yang mempengaruhi perkembangan dan ilmu kepolisian sebagai ilmu pengetahuan, tetapi yang juga berpengaruh besar terhadap perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan adalah masalah-masalah dan isu-isu sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat dimana polisi tersebut berfungsi. Konteks masyarakat dan kebudayaannya dimana polisi itu berfungsi merupakan isu yang kritikal dalam menilai berfungsi atau tidaknya polisi sebagai sebuah pranata otonom dan sebagai organisasi pengayom masyarakat serta penegak hukum.
Mengapa penulis menyatakan ilmu kepolisian yang kualitatif ? Hal ini untuk menghormati pendukung ilmu kepolisian yang kuantitatif. Penulis tidak sepihak  menyatakan bahwa ilmu kepolisian itu kualitatif. Karena dalam ilmu kepolisian itu sendiri terdapat penganut kualitatif dan kuantitatif, juga penganut multi disipliner dan inter disipliner.  Perbedaan aliran ini dalam suatu ilmu pengetahuan sah-sah saja terjadi. Asal dalam melakukan suatu penelitian mereka harus secara konsisten menggunakan aliran, paradigma dan metode yang digunakan.

Tidak ada komentar: